Friday 10 February 2012

Perempuan kecil itu hari ini

Ada yang mengadakan lomba, ia mendengar dari tadi, bergantian, ceramah, mengaji dan tilawah. Merdu terbawa angin, menyelip dari sela pintu kamarnya yang sempit. Nada-nada yang begitu ia kenal, bertahun-tahun lalu.

Lalu, perempuan kecil itu masuk kembali ke kepalanya, dengan piyama dari bahan yang berbeda-beda warna, dijahitkan sendiri oleh ibunya. Belum lagi terhapus noda bantal di pipinya yang tembam, dengan sandal yang kebesaran (bahkan hingga nanti sandal itu putus karena telah jelek, sandal itu masih tetap kebesaran di kakinya) tersandung-sandung ujung sandalny sendiri, ia berjalan keluar rumah, masih terlalu pagi, kedua kakaknya baru saja berangkat ke sekolah, Ibunya di dapur, entah mencuci, entah memasak. Pagar kayu berwarna hijau muda di depan rumahnya dikunci dengan gembok besar dan lilitan rantai. Ia tak bisa keluar.

Pipinya yang bulat itu menempel di sela pagar kayu, dingin, warung di seberang rumahnya, belum lagi buka. Masih pagi, pohon rambutan kecil di halaman masih basah daunnya, ia berlari ke sana, merasai kulit kayu yang kasar, menarik dahan terendah yang bisa dia capai, lalu berlari lagi ke arah rumpunan tanaman sereh yang ditanam ibunya, menariknya selembar, dan mencium baunya. Kemarin, ia punya balon biru, balon terlama yang bertahan, yang pernah ia punya, yang tiba-tiba pecah ketika dibiarkannya di bawah panas matahari, ia sedih, tapi tidak menangis, hanya saja, itu pertama kali ia menyadari tentang kehilangan.

Di sebelah rumahnya ada setumpukan batu kerikil yang dibatasi dengan papan kayu, kerikil-kerikil yang direncanakan untuk merehab rumah itu telah ada sepanjang ingatannya, pagi ini, kerikil-kerikil itu begitu dingin dan basah, hitam, putih, hitam bening, kekuningan, bulat, memanjang, persegi, dan banyak bentuk yang tidak bisa ia sebutkan. Tumpukan kerikil itu pernah menjadi salah satu tempat bermain kesukaan ia dan kedua kakaknya, tapi entah sejak kapan pula, akhirnya tinggal ia sendiri bermain di sana.

Suara penceramah dari jauh itu tiba-tiba mengejutkannya, ah, di mana perempuan kecil itu?

Di tempat lain, ia melihat perempuan kecil itu pulang sekolah, merah putih seragamnya, menangis, tulang kering kaki kanannya berdarah, sampai di rumah, tak dapat diingatnya siapa yang bertanya kenapa kakinya berdarah, sesenggukan ia menjawab, seorang teman menjegalnya, ia terjatuh, kakinya tersangkut potongan kayu, ada paku. Berhari-hari kemudian ia demam. Lama ia membenci, temannya si penjegal kaki, di sekolah, diajaknya berkelahi, saling jambak, bergulat dalam debu, si penjegal kaki menangis, pipinya juga sakit kena tinju, tapi ia bertahan untuk tidak menangis, guru menghukum mereka berdua, pelan-pelan si penjegal kaki mengulurkan tangan padanya, maaf ya, ujarnya pelan, ia menjabat tangan temannya, iya sahutnya. Tak lama setelah itu, mereka berdua begitu akrab, jadi jagoan di sekolah, ditakuti, tukang berkelahi, dua perempuan kecil, suka menendang dan meninju, tak peduli perempuan atau laki, tak jarang pula, mereka berdua berselisih lagi, tapi saling memaafkan lagi. Dulu pernah dia ingat, si penjegal kaki mengajaknya ke rumah, ayahnya panen durian, dia diajak ikut menikmati. Lulus seragam merah putih, ia dan si penjegal kaki berpisah sekolah, nilainya tertinggi di sekolah, cukup untuk masuk ke sekolah terbaik di kotanya, seragam putih biru kini ia pakai, lama, ia dan si penjegal kaki, tak lagi berhubungan, sedikit kabar hanyalah tentang si penjegal kaki yang tetap jadi jagoan, perempuan yang suka berkelahi dan kebut-kebutan di jalan, sesekali bertemu, mereka hanya saling melempar senyum dan berlalu, ia sibuk dengan teman-teman barunya, dunia baru yang nanti memberi kisah sendiri yang mewarnai hatinya. Si penjegal kaki, terlupakan.

Lalu, di suatu maghrib, perempuan kecil itu sedang bersama ibunya, seseorang membawa kabar, si penjegal kaki kecelakaan, setelah menonton balap motor liar, ia ikut kebut-kebutan, di rumah sakit ia meninggal. Perempuan kecil dan ibunya, bergegas ke rumah si penjegal, di sana telah ramai, tangis ibu penjegal menyambutnya, ia belum menangis, hanya terduduk lemas, menyendiri ke ruang tengah, mayatnya belum sampai, masih di rumah sakit, ia menunggu, sambil mengingat, lalu pelan-pelan, air matanya jatuh juga. Sampai tubuh temannya datang, disambut takbir dan tahlil, ia menatap lekat, wajah pucat, tak ada sedikitpun luka, hanya darah, terus mengalir dari hidung dan telinga, walau telah disumbat kapas, tetap membanjir merah, begitu cepat kita tak lagi bisa sekadar saling melempar senyum, pikirnya.

Bertahun-tahun lalu, perempuan kecil itu terpotong lagi hatinya, bukan sekadar balon biru, yang pecah dan tidak menyisakan apa-apa, tapi seseorang, yang berkelahi, menangis, tertawa dan telah meninggalkan bekas luka di kakinya, hingga kini.

Suara mengaji lagi, perempuan kecil itu pamit pergi, sudah isya, dan telah dua puluh lima tahun ia kini.

--untuk pasangan berkelahi terbaik saya yang pernah ada, Almarhumah Mery Krisba.

4 comments:

LinkWithin