Wednesday 20 March 2013

1915 hari mimpi dan satu hari berhujan

Suatu hari, sebuah pohon yang telah hidup dalam kekeringan selama 730 hari berdoa pada dewa-dewa, segala dewa. "Wahai, segala yang mampu mendengar pinta hamba," katanya, "telah 730 hari berlalu hamba habiskan dalam kering yang panjang. Tak satu, bahkan daun kering pun tersisa. Tiap ranting sekarat mencari nyawanya sendiri. Bolehkah hari ini, sebentar saja, turunkan hujan. Sebentar saja. Lalu, bila aku harus mati, maka matilah dalam kenangan baik pelukan hujan."
Angin tiba-tiba berhenti bertiup. Ranting-rantingnya yang seolah jari-jari kurus tengadah ke langit, merasakan  di udara sekitar hawa lembab yang ia kenal baik, yang telah lama tak ia rasakan itu. Udara yang membawa aroma hujan. Gemetar tubuhnya, dewa-dewa mendengar, dewa-dewa menjawab. Maka, ditambahkannya lagi doanya, "Berikan, berikan hujan. Izinkan kutumbuhkan sehelai tunas, izinkan tunas mudaku membelai hujan."
Hujan pun turun, pelan awalnya. Membasahi puncaknya yang tertinggi, cokelatnya yang kering. Dirasainya hujan itu, seperti seorang penyembah, tengadah, ranting-rantingnya yang kurus menerima dengan ikhlas tiap tetes yang semakin deras.
Terus, teruslah. Gerus, geruslah. Setiap sakit, setiap duka, musnahlah.
Hujan semakin deras, Menjamah tiap inchi kekeringan di kulitnya, membasahinya, mengisinya.
Setelah ia berhasil mengusir segala kering yang tersisa, suatu gerakan lain mendorongnya dari dalam. Ada yang tumbuh di sana, di dalam tubuhnya, yang ia kenal baik dengan penuh cinta. Dorong. Dorong. Dorong.
Sebuah tunas muda, hijau bening, muncul di rantingnya yang kecil.
Terima kasih, yang telah mendengar doa hamba, apa pun. Terima kasih, wahai pengabul. Ujarnya dalam bahagia.
Tak lama, hujan berhenti. Pelan, perlahan.
Angin lama bergerak kembali, dingin, lalu kering.
Bayinya, tunas muda yang rapuh, bernafas pelan, menghirup udara yang semakin tak ramah.
1915 hari usianya, 730 hari kekeringan, dan satu hari berhujan. Ia tahu, tunas muda ini, tunas terakhir yang akan ia miliki.
Keesokan hari, matahari lama menyambutnya. Mengisap basah yang masih tersisa. 
Ia tak hendak lagi berdoa.
Tunas mudanya, dalam embusan udara yang tak seberapa kuat, gugur ke tanah.

2 comments:

  1. saya nggak nyangka setelah lama nggak berkunjung, tulisan kamu sudah sebanyak ini ce.
    keep write. :)

    ReplyDelete

LinkWithin