Monday 24 December 2012

mengingatmu


Tiba-tiba kau berbalik, melihat ke arahku, matamu langsung menatapku, terkejut, kemudian tersenyum. Satu menit lagi mungkin kau akan berada dekat di hadapanku, tapi langkahmu terhenti, karena gerakan tanganku, dan gelengan kepalaku yang menghentikanmu, no, aku menggerakkan bibir tanpa benar-benar mengucapkan kata itu. Kau mengerti, mengangguk dan tersenyum. Lalu, aku melangkah menjauhimu, menjauhi kau dan seorang bayi lucu dalam gendongan di hadapanmu. Kau sekarang seorang Ayah.

Cukup lama, aku memerhatikanmu. Saat pertama melihatmu, aku ragu apakah itu kau, atau aku hanya melihat seseorang yang mirip denganmu, ditambah lagi, bayi itu. Tapi itu memang kau, aku tak melihat perempuan itu di sekitarmu, kau sedang melihat-lihat dari luar arloji-arloji yang dipajang di etalase kaca, mungkin perempuan itu, istrimu, sedang berbelanja di bagian lain mall ini. Kau tidak melihatku, dan aku menjaga jarak, cukup jauh agar tak terlihat olehmu, cukup dekat untuk bisa memastikan itu benar-benar dirimu.

Lelakiku, enam atau tujuh tahun lalu, kau pernah mengatakan bahwa Tuhan mengirimku untuk melengkapimu. Lalu, pagi, siang, malam, kita selalu mencari-cari alasan untuk bersama, bertemu lagi, bertemu, dan bertemu, lalu kau dan aku seperti tak terpisahkan, kan? Suatu hari aku pernah berkata padamu, menunjuk tepat ke dadamu, aku mengutukmu, untuk selalu mencintaiku, ucapku, dan kau tertawa, kau bilang dengan sepenuh hati menerima kutukanku, seumur hidupmu. Pernah pula aku bertanya padamu, bagaimana bila Tuhan tidak menakdirkan kita untuk bersama, dan kau diciptakan untuk dilengkapi oleh rusuk yang lain, kau bilang, kau akan selalu ada untukku, dan di hatimu terlanjur telah dipenuhi oleh aku.

Untuk beberapa waktu kukira kita benar-benar terkena kutukan itu, hingga akhirnya kau bersama perempuan itu, memilihnya menjadi teman hidupmu, dan aku, melengkapimu. Selalu, menjadi pelengkapmu, sekadar pelengkap kapanpun kau membutuhkanku, berapa lama saat-saat itu berjalan? Sejak aku menerima saat dengan sadar kau mengatakan tentang pernikahanmu, kita saat itu berada dalam jarak, aku tak bersedih, aku ikut bahagia, dan aku tak lagi mencintaimu atau entah apanyang kurasakan saat itu, yang pasti bukan cinta.

Beberapa waktu setelah itu, kau mendatangiku, mengulang-ulang tentang kutukan, kau mencintaiku, katamu, seumur hidupmu, dan itu semua salahku. Bertemu lagi denganmu, saat kau seharusnya menyetia, apakah kau benar-benar merasa aku pelengkapmu? Selalu ada kapanpun kau membutuhkanku, dan kau simpan lagi saat tak ingin kau gunakan? Kau sepertinya lupa, akulah yang mengutukmu, kau mencintaiku, saat aku tak lagi mencintaimu, dan kau telah bersamanya. Kau selalu mencariku, mengabaikan perempuanmu.

 Lalu, perlahan aku meninggalkanmu, mencari alasan untuk menghindari pertemuan-pertemuan yang kau inginkan, mengabaikan telefonmu, sapaanmu, seluruh surat-surat mu di kotak masuk emailku. Dalam beberapa waktu, aku hilang darimu, sudah saatnya, aku katakan padamu, untuk menjalankan hidup kita masing-masing, aku bukan pelengkapmu, dan bahkan dalam kutukan, kau pasti mampu melupakanku, aku janji, kataku. Kau diam saja, tanpa bantahan, pun tak mengiyakan. kita menjauh, sebulan, setahun, hingga hampir dua tahun, tanpa temu, tanpa kabar.

Kau bahagia, aku melihat itu hari ini, dengan bayi itu. Dulu, aku pernah berkata padamu, lelaki yang menggendong bayinya saat bepergian dengan istri, selalu terlihat manis, dan kau melakukannya saat ini. Jujur, melihatmu yang bercakap-cakap dengan bayimu tadi, aku seolah ingin menangis, kau tahu? Kau manis, sangat manis, dan hari ini aku mengingat kembali betapa dulu aku pernah mencintaimu, dan menemukan kembali alasan mengapa dulu aku memilihmu.

Aku belum siap untuk terikat, kataku padamu saat kau memintaku menjadi teman hidupmu, tak apa bila kau ingin mendahuluiku, pilihlah pendamping yang kau percayai, karena aku belum siap saat itu, bahkan hingga hari ini, aku belum menemukan kesiapan, aku masih mengingat wajah kecewamu, aku masih mengingat betapa keras kau menahan dua air yang mengalir dari matamu saat memberitahuku keputusanmu menikah hari itu, aku paham, dan aku merelakanmu. Hari pernikahanmu, aku tak memiliki rasa apapun, tidak sedih, tidak patah hati, hari itu, aku kehilangan alasan mengapa dulu pernah jatuh cinta padamu, dan hari ini, dengan bayi dalam gendonganmu, aku menemukannya kembali.


Aku mencintaimu, dan kau telah lama bebas dari kutukanku, kau bahagia, dan aku bahagia melihatmu bahagia. Masih adakah tempat di hatimu untukku? Jika iya, ubahlah tempat itu menjadi semacam tempat untuk mengenang, tentang aku yang dulu mengutukmu, dan kau yang dengan rela menyerahkan hatimu. Untuk kau ingat, tak perlu setiap saat, sesekali saja, mungkin saat kau sendiri, hujan di luar jendelamu, dan salah satu pejalan yang menunduk mengingatkanmu padaku, saat itu, bolehlah kau mengingatku, mengingat kita, mengingat betapa dulu kita pernah bahagia.


picture from here











1 comment:

LinkWithin