Tiba-tiba kau
berbalik, melihat ke arahku, matamu langsung menatapku, terkejut, kemudian
tersenyum. Satu menit lagi mungkin kau akan berada dekat di hadapanku, tapi
langkahmu terhenti, karena gerakan tanganku, dan gelengan kepalaku yang
menghentikanmu, no, aku menggerakkan bibir tanpa benar-benar mengucapkan kata
itu. Kau mengerti, mengangguk dan tersenyum. Lalu, aku melangkah menjauhimu,
menjauhi kau dan seorang bayi lucu dalam gendongan di hadapanmu. Kau sekarang
seorang Ayah.
Cukup lama, aku
memerhatikanmu. Saat pertama melihatmu, aku ragu apakah itu kau, atau aku hanya
melihat seseorang yang mirip denganmu, ditambah lagi, bayi itu. Tapi itu memang
kau, aku tak melihat perempuan itu di sekitarmu, kau sedang melihat-lihat dari
luar arloji-arloji yang dipajang di etalase kaca, mungkin perempuan itu,
istrimu, sedang berbelanja di bagian lain mall ini. Kau tidak melihatku, dan
aku menjaga jarak, cukup jauh agar tak terlihat olehmu, cukup dekat untuk bisa
memastikan itu benar-benar dirimu.
Lelakiku, enam
atau tujuh tahun lalu, kau pernah mengatakan bahwa Tuhan mengirimku untuk
melengkapimu. Lalu, pagi, siang, malam, kita selalu mencari-cari alasan untuk
bersama, bertemu lagi, bertemu, dan bertemu, lalu kau dan aku seperti tak
terpisahkan, kan? Suatu hari aku pernah berkata padamu, menunjuk tepat ke
dadamu, aku mengutukmu, untuk selalu mencintaiku, ucapku, dan kau tertawa, kau
bilang dengan sepenuh hati menerima kutukanku, seumur hidupmu. Pernah pula aku
bertanya padamu, bagaimana bila Tuhan tidak menakdirkan kita untuk bersama, dan
kau diciptakan untuk dilengkapi oleh rusuk yang lain, kau bilang, kau akan
selalu ada untukku, dan di hatimu terlanjur telah dipenuhi oleh aku.
Untuk beberapa
waktu kukira kita benar-benar terkena kutukan itu, hingga akhirnya kau bersama
perempuan itu, memilihnya menjadi teman hidupmu, dan aku, melengkapimu. Selalu,
menjadi pelengkapmu, sekadar pelengkap kapanpun kau membutuhkanku, berapa lama
saat-saat itu berjalan? Sejak aku menerima saat dengan sadar kau mengatakan
tentang pernikahanmu, kita saat itu berada dalam jarak, aku tak bersedih, aku
ikut bahagia, dan aku tak lagi mencintaimu atau entah apanyang kurasakan saat
itu, yang pasti bukan cinta.
Beberapa waktu
setelah itu, kau mendatangiku, mengulang-ulang tentang kutukan, kau mencintaiku,
katamu, seumur hidupmu, dan itu semua salahku. Bertemu lagi denganmu, saat kau
seharusnya menyetia, apakah kau benar-benar merasa aku pelengkapmu? Selalu ada
kapanpun kau membutuhkanku, dan kau simpan lagi saat tak ingin kau gunakan? Kau
sepertinya lupa, akulah yang mengutukmu, kau mencintaiku, saat aku tak lagi
mencintaimu, dan kau telah bersamanya. Kau selalu mencariku, mengabaikan
perempuanmu.
Lalu, perlahan aku meninggalkanmu, mencari
alasan untuk menghindari pertemuan-pertemuan yang kau inginkan, mengabaikan
telefonmu, sapaanmu, seluruh surat-surat mu di kotak masuk emailku. Dalam
beberapa waktu, aku hilang darimu, sudah saatnya, aku katakan padamu, untuk
menjalankan hidup kita masing-masing, aku bukan pelengkapmu, dan bahkan dalam
kutukan, kau pasti mampu melupakanku, aku janji, kataku. Kau diam saja, tanpa
bantahan, pun tak mengiyakan. kita menjauh, sebulan, setahun, hingga hampir dua
tahun, tanpa temu, tanpa kabar.
Kau bahagia, aku
melihat itu hari ini, dengan bayi itu. Dulu, aku pernah berkata padamu, lelaki
yang menggendong bayinya saat bepergian dengan istri, selalu terlihat manis,
dan kau melakukannya saat ini. Jujur, melihatmu yang bercakap-cakap dengan
bayimu tadi, aku seolah ingin menangis, kau tahu? Kau manis, sangat manis, dan
hari ini aku mengingat kembali betapa dulu aku pernah mencintaimu, dan
menemukan kembali alasan mengapa dulu aku memilihmu.
Aku belum siap
untuk terikat, kataku padamu saat kau memintaku menjadi teman hidupmu, tak apa
bila kau ingin mendahuluiku, pilihlah pendamping yang kau percayai, karena aku
belum siap saat itu, bahkan hingga hari ini, aku belum menemukan kesiapan, aku
masih mengingat wajah kecewamu, aku masih mengingat betapa keras kau menahan
dua air yang mengalir dari matamu saat memberitahuku keputusanmu menikah hari
itu, aku paham, dan aku merelakanmu. Hari pernikahanmu, aku tak memiliki rasa
apapun, tidak sedih, tidak patah hati, hari itu, aku kehilangan alasan mengapa
dulu pernah jatuh cinta padamu, dan hari ini, dengan bayi dalam gendonganmu,
aku menemukannya kembali.
Aku mencintaimu,
dan kau telah lama bebas dari kutukanku, kau bahagia, dan aku bahagia melihatmu
bahagia. Masih adakah tempat di hatimu untukku? Jika iya, ubahlah tempat itu
menjadi semacam tempat untuk mengenang, tentang aku yang dulu mengutukmu, dan
kau yang dengan rela menyerahkan hatimu. Untuk kau ingat, tak perlu setiap
saat, sesekali saja, mungkin saat kau sendiri, hujan di luar jendelamu, dan
salah satu pejalan yang menunduk mengingatkanmu padaku, saat itu, bolehlah kau
mengingatku, mengingat kita, mengingat betapa dulu kita pernah bahagia.
![]() |
picture from here |
was here , :')
ReplyDelete